Rabu, 25 April 2012

Lima Hal yang Menjadi Pemicu Kemacetan di Ciputat

Kemacetan merupakan pemandangan yang jamak dijumpai pada kota-kota besar di seluruh dunia. New York, Tokyo, Seoul, dan Sidney dapat dijadikan contoh beberapa kota yang salah satunya terkenal karena kemacetannya. Tak terkecuali dengan Jakarta. Jakarta sebagai Ibukota Indonesia adalah pusat pemerintahan dan bisnis (industri) yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah persoalan kemacetan ini sudah dicarikan solusinya oleh pemerintah? Tampaknya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah belum serius menangani persoalan kemacetan yang terjadi di Jakarta. Hal ini terlihat dari tak adanya kebijakan yang terintegrasi dalam menangani permasalahan lalu lintas tersebut. Tak ayal, kemacetan di Jakarta pun menyebar ke daerah-daerah penyangga Jakarta, salah satunya adalah Ciputat, Tangerang Selatan-Provinsi Banten.
Jumlah kendaraan yang tak sebanding dengan luas jalan yang ada, ketidakpatuhan segelintir pengguna jalan terhadap rambu-rambu lalu lintas, dan sosialisasi peraturan lalu lintas yang tidak seluruhnya sampai kepada masyarakat seringkali dijadikan alasan oleh pemerintah terkait dengan masalah kemacetan. Namun, setelah beberapa hari melakukan pemantauan mengenai kemacetan di Ciputat, saya menyimpulkan ada lima hal yang menjadi penyebab kemacetan di daerah tersebut, antara lain: 1. Tidak Berfungsinya jembatan penyeberangan yang ada. Pejalan kaki (pedestrian) seharusnya sudah merasa diuntungkan dengan adanya jembatan penyeberangan. Betapa tidak? Dengan adanya jembatan penyeberangan, para pejalan kaki semestinya tak lagi khawatir (ragu-ragu) ketika ingin menyeberangi jalan. Namun, paradigma seperti ini sepertinya tak berlaku di Ciputat. Apalagi melihat kondisi jembatan penyeberangan yang ada di Jl. Ir. H. Juanda (dekat kampus UIN Jakarta) yang kosong melompong. Hal tersebut bukan karena jembatannya rusak atau tak layak pakai. Tetapi lebih pada kesadaran masyarakat agar menyeberangi jalan lewat jembatan tersebut masih rendah.
Praktis, jarang sekali ditemukan para pejalan kaki yang menyeberangi jalan lewat jembatan penyeberangan itu. Masyarakat sepertinya lebih suka menyeberangi jalan langsung tepat ditempat mereka berdiri atau dalam kata lain tidak ditempat seharusnya mereka boleh menyeberang. Tak terkecuali dengan masyarakat kampus UIN Jakarta. Baik mahasiswa dan dosen pun lebih suka menyeberangi jalan tepat di depan kampus UIN Jakarta. Padahal, secara esensial, kampus adalah tempat bagi sekumpulan entitas tertentu di masyarakat yang menyandang predikat sebagai insan dengan tingkat pendidikan paling tinggi. Namun kesadaran mereka untuk mentaati peraturan ketika menyeberangi jalan pada tempatnya belum menjadi tradisi.
Konsekuensi yang kemudian terjadi adalah kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan Ir. H. Juanda (kampus UIN Jakarta dan sekitarnya) harus rela menghentikan sejenak kendaraannya apabila ada pejalan kaki yang ingin menyeberang. Ini semua dilakukan agar tak terjadi kecelakaan. Alhasil, kemacetan pun tak terhindarkan terutama di pagi hari dan sore hari mengingat intensitas pejalan kaki yang menyeberangi jalan tersebut sangat tinggi. 2. Halte yang “beralih fungsi”
3. Terlalu banyak putaran “U” (U-Turn) Jika kita berjalan dari perbatasan Jakarta Selatan sampai ke pasar Ciputat saja, dapat ditemukan banyaknya putaran (U-turn). Saya sendiri yang sempat menyusuri jalan tersebut menghitung tak kurang terdapat 12 putaran (U-turn). Alhasil, ketika intensitas kendaraan sedang tinggi di pagi hari dan sore hari, ditambah lagi banyaknya kendaraan yang memutar arah melalui putaran (U-turn) yang terdapat di sepanjang jalan itu, kemacetan pun tak dapat terhindarkan.
4. Pasar Tradisional yang Beroperasi di Badan Jalan
ntuk masalah pengelolaan sampah yang kurang baik, pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan sendiri mempunyai problem keterbatasan moda pengangkut sampah untuk ukuran pasar yang sebesar itu. Belum lagi penggusuran dan penertiban bagi pedagang yang berjualan di bahu jalan pun sudah pernah dilakukan. Tetapi, setelah proses penertiban selesai dan tak ada lagi petugas yang memastikan jalan umum tak dipakai untuk berjualan, para pedagang biasanya kembali lagi berjualan di bahu jalan. Para tukang ojek yang beroperasi di pinggir jalan di sepanjang pasar pun menjadi salah satu penyebab kemacetan. Sepertinya, mereka harus dibuatkan tempat tersendiri di area pasar yang tidak mengambil sisi jalan dan para penumpangnya yang rata-rata adalah pengunjung pasar Ciputat juga harus digiring ke tempat tersebut agar para tukang ojek ini tak kehilangan mata pencahariannya. 5. Ketidaktertiban Angkutan Umum yang Beroperasi Masalah ketidaktertiban angkutan umum bukan pemandangan yang sulit di jumpai di daerah Ciputat. Berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di sembarang tempat dan menunggu (ngetem) penumpang tidak pada tempatnya merupakan sebagian contoh dari ketidaktertiban tersebut. Kejadian ini tak hanya terjadi pada angkutan kota (angkot), bahkan bus pun melakukan hal yang sama. Sesuai dengan pengalaman pribadi, saya seringkali menyesal dan bersedih ketika terjadi kemacetan lalu lintas yang diakibatkan karena ketidaktertiban itu. Perlu kesabaran yang ekstra untuk menghadapi hal tersebut. Marah, sumpah serapah, dan teguran pun sepertinya bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lalu lintas yang timbul akibat ketidakteraturan angkutan umum tersebut.
Di satu sisi, kedepan diharapkan adanya management yang baik. Tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi juga dari pengusaha angkutan umum, asosiasi angkutan umum, dan segala stakeholder yang berusaha menciptakan sistem pengelolaan angkutan umum yang teratur dan meminimalisasi kemacetan. Di sisi lain, setiap penumpang angkutan umum pun harus mempunyai kesadaran untuk menunggu atau menaiki angkutan umum pada tempatnya. Kembali lagi pada masalah alih fungsi halte, kedua hal ini saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kebijakan yang akan dibuat pun harus terintegrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar